PEREMPUAN DI TENGAH MINIMNYA AKSES PENDIDIKAN DAN BELENGGU PATRIARKI TANAH AIR, BAGAIMANA SOLUSINYA?
Kompas.com – Saat ini, banyak
perempuan di Tanah Air yang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak.
Rata-rata perempuan mendapatkan pendidikan ialah sampai jenjang SMP, dengan
rata-rata lama bersekolah hanya 7,5 tahun (KPPA). Angka melek huruf pada
perempuanpun jauh lebih rendah dariada laki-laki, dengan perempuan menempati angka
94,33 persen, sedangkan laki-laki 97,48 persen (BPS 2019).
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kompas TV menggelar webinar dengan bahasan
peran pendidikan terhadap perempuan Indonesia yang bertajuk “Mencerdaskan
Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” dengan bahasan peran pendidikan
terhadap perempuan Indonesia.
Orang tua, terutama Ibu merupakan garda terdepan dalam menerapkan
pendidikan untuk seorang anak sebelum mereka memulainya di sekolah formal. Oleh
karena itu, para perempuan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan wawasan yang
luas agar hal tersebut mampu diajarkan kepada anaknya pula. Pepatah mengatakan
bahwa “anak yang cerdas berasal dari ibu
yang cerdas pula”.
Upaya mewujudkan Sustainable
Development Goals (SDGs), mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan,
dan melindungi lingkungan adalah memberikan peningkatan kesempatan kepada
perempuan untuk mengakses pendidikan lebih luas. Hal inilah yang dilakukan oleh
narasumber pada webinar tersebut yang bernama Sri Rossyati dan Sri Irianingsih.
Ia mendirikan sebuah sekolah guna mendukung program pendidikan di Indonesia,
yang diberi nama Sekolah Darurat Kartini dengan alasan agar anak-anak yang
tidak mampu dan termarjinalkan dapat memiliki akses pendidikan. Pada konteks
kaum perempuan, sekolah tersebut tak hanya diberlakukan untuk anak-anak saja,
namun juga merangkul ibu dari para murid.
Progress selanjutnya setelah ibu atau wali murid tersebut lulus
dari sekolah, mereka akan diberikan modal kerja agar bisa menyalurkan
keterampilan yang telah mereka pelajari. Modal yang diberikan bukanlah berupa
uang, melainkan peralatan untuk menunjang pekerjaan, seperti mesin jahit maupun
alat untuk membuat batik.
Meski begitu, minat perempuan untuk mengikuti program belajar
masih kurang. Mereka menganggap pendidikan tinggi itu tidak lebih penting daripada
bekerja. Pola pikir seperti inilah yang patut diubah.
Narasumber lain (Astatik Bestari) yang merupakan penggagas dari
pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) melakukan hal serupa demi membantu
masyarakat Desa Catakgayam, Jombang, Jawa Timur dengan tujuan mendidik
anak-anak yang putus sekolah. PKBM pun mendapat apresiasi dari pemerintah
hingga mendapatkan bantuan untuk program yang mereka miliki, yakni
pemberantasan buta aksara.
Bestari berharap pemerintah memperbaiki akses pendidikan di
pedesaan. Hal ini dikarenakan perempuan di pedesaan diharuskan lebih banyak
belajar dan terdidik agar dapat menyuarakan sistem yang ada. Terlebih,
menurutnya, perempuan Indonesia sampai sekarang tidak dapat berbuat banyak karena
masih kentalnya sistem patriarki Tanah Air.
Menurut Kiai Haji Husein Muhammad (Ulama Pejuang Advokasi
Kesetaraan dan Keadilan Gender), sistem patriarki menyebabkan terjadinya
dominasi, terutama bagi yang sudah berumah tangga. Hal ini membuat perempuan menjadi
tidak produktif. Kondisi tersebut dianggap membuat ruang gerak perempuan
menjadi terbatas. Sepatutnya perempuan mendapatkan ruang gerak yang sama dengan
laki-laki. Husein berpendapat bahwa perempuan harus ditekankan untuk bisa
menjadi seseorang yang mandiri. Oleh karena itu, Husein menginginkan lebih
banyak acara diskusi serupa yang bisa diikuti oleh lelaki dan perempuan. Hal
tersebut bertujuan untuk membuat laki-laki paham tentang arti kesetaraan
gender.
~thxu for reading~
Dikutip dari:
Kompas.com
| Kamis, 24 Desember 2020 | 21:12 WIB
No comments:
Post a Comment