Sunday, December 27, 2020

Article 02

 

PEREMPUAN DI TENGAH MINIMNYA AKSES PENDIDIKAN DAN BELENGGU PATRIARKI TANAH AIR, BAGAIMANA SOLUSINYA?


Kompas.com – Saat ini, banyak perempuan di Tanah Air yang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak. Rata-rata perempuan mendapatkan pendidikan ialah sampai jenjang SMP, dengan rata-rata lama bersekolah hanya 7,5 tahun (KPPA). Angka melek huruf pada perempuanpun jauh lebih rendah dariada laki-laki, dengan perempuan menempati angka 94,33 persen, sedangkan laki-laki 97,48 persen (BPS 2019).

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kompas TV menggelar webinar dengan bahasan peran pendidikan terhadap perempuan Indonesia yang bertajuk “Mencerdaskan Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” dengan bahasan peran pendidikan terhadap perempuan Indonesia.

Orang tua, terutama Ibu merupakan garda terdepan dalam menerapkan pendidikan untuk seorang anak sebelum mereka memulainya di sekolah formal. Oleh karena itu, para perempuan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan wawasan yang luas agar hal tersebut mampu diajarkan kepada anaknya pula. Pepatah mengatakan bahwa “anak yang cerdas berasal dari ibu yang cerdas pula”.

Upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan adalah memberikan peningkatan kesempatan kepada perempuan untuk mengakses pendidikan lebih luas. Hal inilah yang dilakukan oleh narasumber pada webinar tersebut yang bernama Sri Rossyati dan Sri Irianingsih. Ia mendirikan sebuah sekolah guna mendukung program pendidikan di Indonesia, yang diberi nama Sekolah Darurat Kartini dengan alasan agar anak-anak yang tidak mampu dan termarjinalkan dapat memiliki akses pendidikan. Pada konteks kaum perempuan, sekolah tersebut tak hanya diberlakukan untuk anak-anak saja, namun juga merangkul ibu dari para murid.

Progress selanjutnya setelah ibu atau wali murid tersebut lulus dari sekolah, mereka akan diberikan modal kerja agar bisa menyalurkan keterampilan yang telah mereka pelajari. Modal yang diberikan bukanlah berupa uang, melainkan peralatan untuk menunjang pekerjaan, seperti mesin jahit maupun alat untuk membuat batik.

Meski begitu, minat perempuan untuk mengikuti program belajar masih kurang. Mereka menganggap pendidikan tinggi itu tidak lebih penting daripada bekerja. Pola pikir seperti inilah yang patut diubah.

Narasumber lain (Astatik Bestari) yang merupakan penggagas dari pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) melakukan hal serupa demi membantu masyarakat Desa Catakgayam, Jombang, Jawa Timur dengan tujuan mendidik anak-anak yang putus sekolah. PKBM pun mendapat apresiasi dari pemerintah hingga mendapatkan bantuan untuk program yang mereka miliki, yakni pemberantasan buta aksara.

Bestari berharap pemerintah memperbaiki akses pendidikan di pedesaan. Hal ini dikarenakan perempuan di pedesaan diharuskan lebih banyak belajar dan terdidik agar dapat menyuarakan sistem yang ada. Terlebih, menurutnya, perempuan Indonesia sampai sekarang tidak dapat berbuat banyak karena masih kentalnya sistem patriarki Tanah Air.

Menurut Kiai Haji Husein Muhammad (Ulama Pejuang Advokasi Kesetaraan dan Keadilan Gender), sistem patriarki menyebabkan terjadinya dominasi, terutama bagi yang sudah berumah tangga. Hal ini membuat perempuan menjadi tidak produktif. Kondisi tersebut dianggap membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas. Sepatutnya perempuan mendapatkan ruang gerak yang sama dengan laki-laki. Husein berpendapat bahwa perempuan harus ditekankan untuk bisa menjadi seseorang yang mandiri. Oleh karena itu, Husein menginginkan lebih banyak acara diskusi serupa yang bisa diikuti oleh lelaki dan perempuan. Hal tersebut bertujuan untuk membuat laki-laki paham tentang arti kesetaraan gender.


~thxu for reading~


Dikutip dari:

Kompas.com | Kamis, 24 Desember 2020 | 21:12 WIB

No comments:

Post a Comment